Kamis, 07 Oktober 2010

Sejarah Perkembangan Fotografi Dunia


Untuk mengetahui lebih jauh tentang fotografi, tentunya kita harus memahami latar belakang perjalanan sejarah perkembangan fotografi dunia. Dimana lahirnya fotografi tidak terlepas dari peran tokoh ilmuwan dan fotografer pada saat itu dalam mengembangkan keberlangsungan fotografi dan piranti pendukungnya. Termasuk adanya beberapa sumber atau buku fotografi dan karya-karya foto yang tersimpan diberbagai Gallery atau ruang pamer yang mendukung terhadap perkembangan fotografi di Dunia.

Banyak beberapa sumber buku membahas mengenai sejarah perkembangan fotografi dunia. Diantaranya dalam buku "Pot-Pouri Fotografi", buku ”Life Library of Photography”, buku “The History of Photography”, disebutkan bahwa pada abad ke-5 SM, seorang lelaki berkebangsaan Cina bernama Mo Ti secara tidak sengaja mengamati sebuah gejala alam di rumahnya. Dimana pada dinding ruangan yang gelap terdapat lubang kecil, maka bila dilihat dari di bagian dalam ruang, pemandangan sekitar yang ada di luar akan terefleksikan secara terbalik lewat lubang kecil tersebut.

Sumber lain menyatakan bahwa sejarah perkembangan fotografi diawali pada 14 SM oleh ilmuwan bernama Aristotle, mencoba menjabarkan fenomena lubang kecil dengan segala ide yang ia miliki, lalu memperkenalkannya kepada orang setempat. Kemudian Aristoteles merentangkan kulit yang diberi lubang kecil, lalu digelar di atas tanah dan memberinya jarak untuk menangkap bayangan matahari. Selain itu juga beliau mempergunakan terusan cahaya melalui lubang kecil di ruang gelap untuk memperhatiakn gambar gerhana matahari.

Dalam eksperimennya itu, cahaya dapat menembus dan memantul di atas tanah sehingga gerhana matahari dapat diamati. Pada tahun 1521 diterbitkan catatan laporan singkat mengenai kamera berbentuk rumah (Obscura) oleh Cesare Cesariano. Kemudian tahun 1544 Rainer Gemma Frisius, menerbitkan gambar kamera berbentuk rumah (Obscura).

Tahun 1550 Girolama Cardano, merekomendasikan pemakaian lensa Bi-convex (lensa cembung) dalam kamera berbentuk rumah (obscura) dengan tujuan untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas pada. Kemudian disusul pada tahun 1558 oleh Giovani Battista Della Porta, dengan menggambarkan bentuk kamera Obscura sebagai alat bantu untuk menggambar.

Dengan penemuan-penemuan dan eksperimen yang dilakukan oleh tokoh dan ilmuwan fotografi ternyata menjadi motivasi dan dorongan bagi ilmuwan dan tokoh lainnya. Seperti halnya dengan perkembangan lain dari dunia fotografi adalah pada abad X, seorang musafir bernama Ibnu al Haitam, mulai meneliti berbagai ragam fenomena cahaya, termasuk sistem penglihatan manusia. Kemudian dari hasil penelitiannya, Haitham bersama muridnya, Kamal ad-Din, untuk pertama kali memperkenalkan fenomena obscura kepada orang-orang di sekelilingnya.

Pada saat itu, obscura yang ia maksud adalah sebuah ruangan tertutup yang di salah satu sisinya terdapat sebuah lubang kecil sehingga seberkas cahaya dapat masuk dan membuat bayangan dari benda-benda yang ada di depannya. Sehingga pada abad ke-11 M, orang-orang Arab sudah memakainya sebagai hiburan dengan menjadikan tenda mereka sebagai kamera obscura.

Sumber lain menyatakan bahwa Ibnu al Haitam secara kebetulan melihat suatu gambaran hidup pada dinding tendanya, yang setelah diselidiki, ternyata “ gambar “ tersebut masuk melalui sebuah lubang tenda tersebut. Dan kejadian tersebut terulang oleh Roger Bacon berkebangsaan Inggris pada abad XIII, yang menemukan hal serupa di kamar kerjanya.

Kebangkitan fotografi dunia mengawali puncaknya pada abad XV oleh seorang ilmuwan Italia bernama Leonardo da Vinci, yang memamfaatkan gejala alam sebelumnya untuk diaplikasikan menjadi alat yang berguna. Beliau menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi asal muasal kata “kamera” itu dan mulai menyempurnakannya. Pada mulanya kamera ini tidak begitu diminati karena cahaya yang masuk amat sedikit, sehingga bayangan yang terbentuk pun samar-samar.

Karya utama Leonardo da Vinci adalah: Camera Obscura (Camera = Kamar, Obscura = gelap). Penggunaan kamera ini baru populer setelah lensa ditemukan pada tahun 1550. Dengan lensa pada kamera ini, maka cahaya yang masuk ke kamera dapat diperbanyak, dan gambar dapat dipusatkan sehingga menjadi lebih sempurna. Sehingga keberadaan Camera Obscura pertama di dunia merupakan cikal bakal alat dokumentasi modern.

Perkembangan lain dari kamera Obscura yang diminiaturkan adalah kamera lubang jarum. Mengapa disebut lubang jarum? Karena bentuknya berupa sebuah kotak dengan salah satu dindingnya dilubangi, dan pada dinding seberangnya dipasangkan kaca buram dengan tujuan untuk melihat gambar yang terbentuk.

Tahun 1839 Louis Daguerre, membuat bahan peka cahaya yang lebih praktis dan dikenal sebagai Daguerrotype. Daguerrotype suatu pelat tembaga yang pada satu permukaannya terlaburi bahan peka terhadap cahaya. Daguerrotype ini berfungsi sebagai “ film ” juga sekaligus menjadi foto final/hasil akhir. Daguerre adalah orang yang pertama kali membuat foto yang di dalamnya terdapat sosok manusia. Pada foto yang diambil dari jarak jauh di tahun 1839 itu, tampak seseorang lelaki sedang berdiri dan mengangkat salah satu kaki saat sepatunya sedang dibersihkan oleh orang lain di pinggir sebuah jalan raya.

Daguerre dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil membuat gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin, lalu disinari selama satu setengah jam dengan pemanas mercuri (neon).

Tahun 1727 Heinrich Schulze, menemukan bahan kimia yaitu garam perak yang peka terhadap cahaya. ¨Tahun 1826 Joseph Nicephore Niepce, seorang veteran Perancis, bereksperimen menggunakan kamera obscura dan plat logam yang dilapisi bahan aspal dengan cara mencelupkan lembaran tersebut yang sebelumnya telah dilaburi bahan peka cahaya dan telah dicahayai kedalam larutan asam. Eksperimen yang dibuat saat itu adalah mengabadikan gambar sebuah obyek pemandangan.

Setelah 8 jam mengekspos pemandangan dari jendela kamarnya melalui proses “Heliogravure”, ia berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan mempertahankan gambar secara permanen. Gambar yang dibuat oleh Niepce itu diberi judul “View from The Window at Le Gras” dan menjadi foto pertama yang pernah ada di dunia. Nama Joseph Nicephore Niepce tercatat sebagai fotografer pertama yang mengabadikan sebuah gambar, Louis J.M. Daguerre adalah orang yang pertama kali membuat foto yang di dalamnya terdapat sosok manusia. Di saat Joseph Niepce dan Louis Daguerre melakukan experimen, Henry Fox Talbot dengan gagasan lebih maju, sudah mengetahui hubungan negatif-positif.

Pada 25 Januari 1839 memperkenalkan “lukisan fotografi” yang juga menggunakan kamera obscura, tapi ia membuat foto positifnya pada sehelai kertas chlorida perak. Kemudian, pada tahun yang sama Talbot menemukan cikal bakal film negatif modern yang terbuat dari lembar kertas beremulsi, yang bisa digunakan untuk mencetak foto dengan cara “contact print”. Teknik ini juga bisa digunakan untuk cetak ulang layaknya film negatif modern. Proses ini disebut Calotype yang kemudian dikembangkan menjadi Talbotype. Untuk menghasilkan gambar positif, Talbot menggunakan proses Saltprint.

Gambar dengan film negatif pertama yang dibuat Talbot pada Agustus 1835 adalah pemandangan pintu perpustakaan di rumahnya di Hacock Abbey, Wiltshire, Inggris.

Pada tahun 1850, Scott Archer seorang pemahat, menciptakan metode yang diberi nama “ Collodian “ disebut juaga sebagai “ Proses Pelat Basah “.

Ia menerapkan suatu cara dengan melaburi kaca dengan suatu campuran bahan kimia, yang setelah mengering akan membentuk lapisan film, menyerupai kulit. Film collodian ini diberi emulsi dengan cara dicelupkan ke dalam larutan kimia peka cahaya.

Yang merepotkan bahwa film ini harus dipakai untuk pemotretan dalam keadaan basah, langsung dimasukan ke dalam kamera, karena apabila bahan-bahan kimianya sudah mengering, akan kehilangan kepekannya terhadap cahaya.

Pada saat bersamaan, lahir juga variasi lain dari proses collodian, ialah Ambrotype. Film ini juga terbuat dari kaca, diberi selaput degan emulsi collodian. Dalam pencahayaan, sengaja dibuat tercahayai kurang, agar citra yang terbentuk menjadi pucat. Citra ini bila dilihat diatas permukaan yang putih, akan tampil sebagai negatif yang kurang tercahayai, sedangkan bila dilihat dengan latar belakang yang hitam, citranya menjadi positif yang memadai.

Pada tahun 1870-an lahir metode baru bernam Tintype, suatu variasi lain dari Ambrotype, perbedannya adalah tintype terbuat dari timah, bukan dari kaca.Karena dasarnya itu timah , maka bagian yang seharusnya putih berubah menjadi keabu-abuan, dan kecemerlangannya hilang, baik dibandingkan dengan daguerreotype maupun ambrotype. ¨Dalam proses collodian, terdapat variasi lain ialah Carte-de-visit.

Jenis variasi ini menggunakan negatif kaca. Film ini lebih cocock dipakai pada kamera berlensa banyak, misalnya 6 atau 8 buah, sehingga sekali potret akan diperoleh banyak fota. Maka varian ini disebut “ carte-de-visit”, yang artinya kira-kira “kartu perkenalan”. Negatif kaca tersebut dapat dicetak berulang-ulang.

Kesimpulan : Sejak Daguerreotype, Ambrotype, Tintype hingga Carte-de-visit, semuanya mengharuskan pemotretan dilakukan berdekatan dengan kamar gelap. Sebab pelat-pelat peka cahaya tersebut harus dilaburi emulsi dan diproses dengan memindahkan kamera langsung ke kamar gelap.

Baru setelah ditemukan sistem pembuatan pelat kering oleh George Eastman pada tahun 1880. Beliau adalah seoran pendiri perusahaan Kodak Eastman Company, semula adalah karyawan bank. Berkat temuannya berupa pelat kering pada tahu 1880, fotografi menjadi lebih praktis dan perkembangan industri fotografi beralih dari daratan Eropa ke Amerika utara. Pada tahun 1885 lahir film rol pertama, dan sejak itu nama ‘ Kodak” mulai diperkenalkan. Film rol pertama itu tidak sama dengan yang kita kenal sekarang. Film tersebut terdiri dari 2 lapis “ gelatin beremulsi dan bahan dasar kertas. Selain itu, film setelah tercahayai harus dikirim ke lab Kodak untuk diproses.

Kamera modern pertama di dunia adalak Kodak # I (Kodak number one) lahir pada tahun 1888. Kamera ini dapat diisi dengan film rol untuk 100 bidikan. Pada tahun 1889, Kodak mempernenalkan film rol baru yang lebih lenturdan sudah seperti film yang kita kenal sekarang. Maka sejak saat itu mulai diproduksi film rol panjang untuk kebutuhan sinematografi. Kelemahan film kodak saat itu adalah sukarnya diperoleh permukan yang rata, terutama pada lembaran-lembaran yang agak besar.

Pada Tahun 1900 seorang juru gambar telah menciptakan kamera Mammoth. Ukuran kamera ini amat besar. Beratnya 1,400 pon, sedangkan lensanya memiliki berat 500 pon. Untuk mengoperasikan atau memindahkannya, sang fotografer membutuhkan bantuan 15 orang. Kamera ini menggunakan film sebesar 4,5 x 8 kaki dan membutuhkan bahan kimia sebanyak 10 galon ketika memprosesnya.

Perkembangan fotografi dunia tidaklah lengkap kalau kita tidak menyebut nama sebuah kamera buatan Jerman bernama Leica! Bagi sebagian kalangan fotografer, nama kamera Leica sudah tidak asing lagi. Kamera Leica dibuat oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Oscar Barnack yang bekerja sebagai karyawan pada sebuah pabrik kamera optik merk Leitz , sebagai seorang ahli dalam bidang mekanik yang merangkap sebagai kepala bagian desain dan pengembangan di perusahaan tersebut.

Kisah Leica bermula pada 1849 ketika Optical Institute milik Karl Kellner berdiri di Weltzar, Jerman, sebagai perusahaan yang menangani pengembangan lensa dan mikroskop. Karl Kellner meninggal dunia pada 1855 dan mitranya Friedrich Christian Belthle mengambil alih bisnis tersebut serta menikahi janda Karl. Nama perusahaan pun diubah menjadi Optical Institute Kellner and Belthle. Nama Oscar Barnack masuk menjadi karyawan Leitz Wetzlar pada 1911. Dalam perjalannya sebagai karyawan Leitz dan menjabat sebagai kepala desain dan pengembangan, ternyata ada keinginan untuk membuat kamera yang ringan, simple dan mudah dibawa. Sebenarnya jauh sebelum masuk ke Leitz, Oscar Barnack punya ide untuk mengurangi format negatif dan memperbesar foto setelah diekspos.

Pada tahun 1912 timbulah suatu ide gagasan baru fotografi didalam pikiran Oscar Barnack dengan konsep bahwa, bagaimana menghasilkan sebuah karya fotografi, dimana: Negatif kecil – Foto Besar, artinya bahwa dalam pembuatan karya fotografinya menggunakan bentuk negatif/klise yang kecil, tetapi bisa menghasilkan sebuah cetakan foto yang besar (bila dibesarkan). Kemudian dengan gagasan barunya tersebut, maka Oscar Barnack mematangkan ide dan gagasannya dan sekaligus menyiapkan alat-alat pendukung yang diperlukan untuk membuat sebuah konsep kamera yang ringan, kecil, mudah dibawa kemana-mana, bebas dari kaki tiga/tripod dan menggunakan film yang sama seperti pada film bioskop.

Maka pada tahun 1913, berkat persetujuan majikannya bernama Dr. Ernst Leitz, terciptalah kamera pengukur cahaya. Tujuan pembuatan utama pembuatan kamera saat itu adalah dipakai sebagai alat pengukur cahaya/light meter yang ekonomis dan praktis. Sehingga setelah melalui proses perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan, maka pada tahun 1914 lahir kamera pengukur cahaya pertama di Dunia, dengan kualitas luar biasa saat itu.

Namun dalam perkembangan pembuatannya sempat terganggu akibat pecahnya Perang Dunia I. Pada tahun 1920 Ernst Leitz meninggal dunia dan Ernst Leitz II menjadi pemilik tunggal bisnis tersebut. Empat tahun kemudian Ernst Leitz II memutuskan untuk meluncurkan kamera 35 mm yang dibuat oleh Oscar Barnack dan lahirlah Leca singkatan dari Leitz Camera, yang tidak lama kemudian di kukuhkan namanya menjadi Leica. Di saat bersamaan Ernst Leitz III bergabung dalam perusahaan tersebut. Setahun kemudian kamera Leica pun beredar di pasaran saat Pameran Musim Semi Leipzig. Leica I, Luxus, dan model Compur diproduksi dan dipasarkan hingga 1932.

Perkembangan industri fotografi dunia mengalami kemajuan yang ditandai dengan lahirnya kamera Instan Photography/foto langsung jadi yang diberi nama Polaroid Land, pada tahun 1947 oleh Edwin H. Land. Kamera Polaroid menjadi inspirasi baru bagi para fotografer-fotografer yang bergerak dalam bidang jurnalistik wartawan foto). Maka kehadiran kamera Polaroid disambut baik oleh para jurnalis foto dalam mengabadikan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat itu. Karena tidak usah melakukan proses cuci cetak di kamar gelap. Selain itu juga hasil foto dapat dilihat saat itu juga sehingga memudahkan para penerbit surat kabar dalam menata foto dan mengolah isi berita surat kabar.

Setiap produk yang dihasilkan, tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal itu terjadi pada produk kamera Polaroid yang dibuat oleh Edwin H. Land. Kelebihan dari kamera Polaroid pada saat itu, pertama; mudah dibawa kemana-mana, mampu menghasilkan gambar dengan cepat tanpa melalui proses pengembangan dan pencetakan film. Dimana sebelum diciptakan kamera Polaroid, para wartawan foto setelah melakukan pemotretan liputan, kemudian melakukan proses cuci cetak foto di kamar gelap. Tentunya hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama.

Sedangkan kekurangan dari penggunaan kamera Polaroid adalah kita tidak memiliki negatif/klise yang bisa digunakan untuk cetak foto selanjutnya. Karena tidak memilki negatif/klise, maka hasil foto tersebut tidak bisa diperbesar. Walaupun dengan berbagai kelebihan dan kekurangan dari kamera Polaroid, ternyata dengan adanya kamera tersebut disambut baik oleh kalangan fotografer, dalam hal ini kalangan jurnalistik foto, karena suatu peristiwa yang baru saja terjadi dapat di potret pada saat itu dan dapat segera dikirim ke penerbit surat kabar tanpa harus melakukan proses cuci cetak foto di kamar gelap.

Pada tahun 1947 di Rochester, New York, didirikan sebuah museum fotografi yang diberi nam “ The George Eastman House “. Di museum tersebut dipamerkan secara permanen “The Art of Photography”, suatu perjalanan fotografi mulai daguerreotype hingga kini dan banyak benda-benda bersejarah mengenai fotografi.

Seiring dengan perkembangan teknologi fotografi saat itu, negara di Asia yang diwakili oleh Jepang mulai memasuki babak baru dunia fotografi modern dengan memproduksi kamera Nikon SP pada tahun 1950. Kamera ini dirancang dengan konsep pemakaian prisma untuk memudahkan pembidikan pada kamera Single Lens Reflex (SLR), maka sejak saat itu penggunaan kamera SLR mulai ramai dan digunakan sebagai alat dokumentasi foto, dimana kamera tersebut banyak digunakan untuk keperluan berbagai kegiatan pemotretan yang bersifat individu maupun kelompok.

Dengan maraknya penggunaan kamera SLR sebagai alat pendukung pembuatan dokumentasi foto menjadikan perkembangan fotografi menjadi pesat. Hal ini ditandai dengan kemajuan teknologi industri alat fotografi (kamera), adapun produk-produk merek kamera yang dihasilkan oleh Jepang, antara lain kamera merk Minolta, Canon, Pentax, Nikon, Fuji, Konica, Olympus, Yashica, Practika dll.

Dari kemajuan Jepang tersebut, secara lambat laun dapat dapat mengalahkan produk kamera Eropa, khususnya dari Jerman, misalnya Merk Leica, Voigtlander, Edixa, Agfa, Bauer, Eumig, Contax, Rorleiflex dan lain-lain. Akhirnya dampak dari kemajuan kamera di Jepang, maka pada masa peralihan dekade 70-an ke 80-an, telah terjadi penggabungan teknologi kamera antara Jerman dan Jepang, diantaranya Leitz dengan Minolta, Zeiss/Contax dengan Yashica/Kyocera.

Dengan kebijakan penggabungan dua produk kamera, tentunya hal ini dapat menguntungkan bagi Jepang. Maka sejak saat itulah industri fotografi Asia mulai tumbuh di luar Jepang, seperti India, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Singapura, Indonesia, Malaysia, RRC, Thailand. Akhirnya di era tahun 90-an, fotografi di Indonesia mengalami kemajuan, yang ditandai dengan maraknya klub-klub fotografi, pendidikan fotografi baik pendidikan formal maupun non formal diberbagai daerah seperti di ISI Jogja, Unpas Bandung, Trisakti Jakarta, ISI Denpasar. (dari berbagai sumber).

Rabu, 06 Oktober 2010

Konsep Foto Seni Sebagai Alternatif Karya Fotografi
Abstraksi
Perkembangan fotografi selama ini, telah mendorong lahirnya berbagai bentuk konsep baru dalam bidang fotografi. Lahirnya teknologi fotografi digital telah memberikan berbagai kemudahan dan mendorong para fotografer untuk lebih mengembangkan fotografi secara luas. Sekarang ini konsep foto seni telah banyak digunakan oleh fotografer atau seniman foto melalui pengembangkan ide-ide dan gagasan baru kedalam bentuk karya foto. Foto seni (fine art photography), dapat menjadi penilaian dan representasi bagi fotografer yang menciptakan karya foto tersebut. Oleh karena itu, sudah saatnyalah bagi para fotografer yang selama ini akan atau belum memiliki ciri khas dalam membuat karya foto, untuk menjadikan foto seni sebagai karya seni alternatif dengan paduan konsep-konsep baru dalam berkarya fotografi.
Kata kunci: Konsep, Foto dan Seni
Pendahuluan
Perkembangan foto seni di Indonesia selama ini telah maju dan berkembang dengan pesat. Keberadaan berbagai pendidikan fotografi, baik formal maupun informal telah mampu mendorong sebagian fotografer/seniman foto untuk membuat berbagai karya foto seni. Ditinjau dari segi ekonomi telah ditandai dengan penghargaan nilai sebuah foto pada saat pameran foto dimana satu karyanya dihargai puluhan juta rupiah bahkan sampai ratusan juta rupiah. Selain dari segi ekonomi, dari segi seni rupa, pada perkembangan foto seni sudah dapat disejajarkan dengan seni-seni lainnya seperti halnya seni lukis, seni patung yang terlebih dahulu lahir.
Hal ini ditegaskan oleh Purwanto, seorang dosen seni rupa UNDIP Semarang, mengatakan “fotografi dalam kedudukannya adalah seni yang sejajar dengan senirupa lainnya di Indonesia. Hanya saja sudah semestinya fotografi dengan segala bentuk eksplorasinya tidak boleh keluar dari batasan-batasan fotografi itu sendiri”. Sebagian orang tidak percaya mengenai hal ini dan menganggap bahwa sebuah kamera, apa mungkin menghasilkan suatu foto seni (fine art photography)? padahal foto seni tersebut berawal dari sebuah negatif dan menghasilkan hasil akhir bentuk dua dimensi. Tentu jawabannya mungkin, asalkan kita mampu mengolah ide kreatif kita dengan memperhatikan lingkungan benda sekitar.
Pada dasarnya sebauh foto mudah dibuat dan diperbanyak asalkan negatif fotonya masih ada, namun dalam foto seni (fine art photography), prosesnya tidak bisa disamakan dengan karya foto lainnya dan harus melalui tahapan dan proses. Banyaknya ragam karya seni selama ini telah membawa perubahan dan inovasi baru dalam dunia seni rupa. Telah banyak ide-ide, gagasan imajinasi dan kreativitas yang telah dihasilkan oleh para seniman-seniman besar, diantaranya melalui karya-karya seni baru yang monumental dan di kenal hingga sekarang. Sehingga melalui hasil karya-karya seni tersebut mampu menjadi inspirasi dan imajinasi bagi seniman-seniman lainnya di dunia untuk menghasilkan karya-karya seni lainnya. Seperti halnya dengan foto seni (fine art photography).
Selain itu juga adanya beberapa pemahaman dikalangan fotografer maupun seniman tentang foto seni yang mengatakan bahwa foto seni merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda dibandingkan dengan seni-seni lainnya seperti seni lukis, seni patung dan seni-seni lainnya. Memang benar, tetapi walaupun masih muda usianya, keberadaan foto seni selama ini telah mampu memberikan kontribusi kepada cabang fotografi lainnya, seperti halnya dengan foto jurnalistik atau foto komersial.
Sebuah karya foto seni (fine art photography) yang baik, semestinya lahir dari suatu bentuk proses perenungan yang intens dari senimannya yang didalamnya terdiri dari konsep, visi, dan misi yang akan disampaikan dan bersifat baru. Munculnya berbagai ide, gagasan atau imajinasi dalam membuat foto seni pada dasarnya tidak dilakukan secara mendadak, artinya sebuah foto seni (fine art photography) bukan dihasilkan secara mendadak tetapi harus melalui suatu tahapan atau proses. Dimana tahapan atau proses tersebut mampu membantu fotografernya dalam membuat foto seni.
Diantara proses-proses tersebut adalah proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan dan pengalaman. Maka dari proses-proses tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu karya foto yang mampu menarik perhatian. Mengukutip pendapat Andreas Feininger oleh B. Darmawan dalam Majalah Foto Indonesia edisi 5, bahwa sebuah foto dianggap baik apabila didalamnya ada tiga faktor: 1. Menarik (eye-catching); 2. Berisi (it has content) dan; 3. Kekal (it last). Oleh karena itu tiga faktor tersebut harus ada dalam setiap foto seni (fine art photography) yang akan buat oleh fotografer atau senimannya. Sejatinya foto tersebut harus mampu menjadi karya master fotografi dan panutan bagi fotografer-fotografer dan lainnya.
Seorang fotografer bernama Kartono Ryadi pernah berkomentar, bahwa foto yang bagus adalah foto yang mempunyai daya kejut dari yang lain. Sama halnya dengan pendapat Ferry Ardianto, menurut dia foto yang bagus adalah foto yang informatif yang mencakup konteks, content , dan komposisi (tata letak dan pencahayaan).
Selain dari pada itu tidak kalah pentingnya dalam penciptaan foto seni adalah alat pendukung yaitu “kamera”. Kamera merupakan alat dalam penciptaan karya foto. Seperti yang dinyatakan oleh Andreas Feininger (1955) bahwa "kamera hanyalah sebuah alat untuk menghasilkan karya seni. Nilai lebih dari karya seni itu dapat tergantung dari orang yang mengoperasikan kamera tersebut.
Konsep Foto Seni
Dalam mencipta suatu karya foto seni, konsep utama yang harus dipersiapkan adalah idealisme pribadi si fotografer atau senimannya. Artinya bahwa semua konsep berangkat dari fotografer atau senimannya tanpa dipengaruh oleh orang lain. Yang kemudian disesuaikan dengan sarana yang ada, pengaruh lingkungannya, kesulitan yang mungkin terjadi, dan tentu saja harus didukung dengan peralatan yang memadai sebagai faktor teknis penciptaan. Kedua konsep estetika yang direncanakan dengan matang, dan memperhitungkan terlebih dulu unsur-unsur penciptaan sebuah foto, dari teknik pemotretan, pengaturan pencahayaan sampai proses pencetakannya.
Foto seni hadir karena pengaruh dari fotografer yang memandang fotografi bukan hanya sebagai alat dokumentasi semata, tetapi fotografi bisa di kembangkan menjadi sesuatu karya seni yang berharga. Dalam pengembangannya telah banyak para fotografer yang mampu dan berhasil dalam menciptakan suatu karya seni foto. Dalam pengamatan penulis, pemikiran mereka dalam berkarya biasanya berangkat dari angan-angan, cita-cita dan harapan melalui perenungan yang mendalam, sehingga terbesit ide untuk membuat suatu karya foto baru yang ada dalam pikirannya. Yang terkadang karya foto seni yang ditampilkan tidak sesuai dengan realita kehidupan sebenarnya.
Menurut H. Dayat Ratman, seorang pakar fotografi mengatakan bahwa foto seni adalah suatu foto yang mengandung unsur seni dan budaya, yang terkadang hasil akhirnya berbentuk abstrak. Sedangkan menurut Prof. R.M. Soelarko, foto seni adalah suatu foto yang memiliki nilai seni dan bersifat terbatas. Artinya bahwa dalam foto seni, karya yang dihasilkan berbeda dengan foto-foto lainnya seperti foto jurnalistik, dalam foto jurnalistik seorang fotografer mampu menghasilkan foto-foto dalam jumlah banyak dalam wakyu seketika, tetapi dalam foto seni foto yag dihasilkan dibatasi dan tidak mudah dalam proses pembuatannya, karena konsep dan ide gagasan yang disampaikan melalui foto harus ”kuat” dimana dalam foto seni harus memiliki nilai dan memuat unsur-unsur seni rupa, diantaranya garis, bidang, warna, tekstur dll.
Sehingga kalau dijabarkan lebih luas lagi pada dasarnya foto seni adalah suatu foto yang memiliki nilai karakter estetik yang muncul dari pengalaman dan pemikiran-pemikiran mendalam dari fotografernya yang diwujudkan kedalam karya dua dimensi yang bersifat terbatas. Artinya bahwa foto tersebut memiliki karakter tertentu yang lahir dari pengalaman pribadi si fotografernya, baik pengalaman lahiriah dan bathiniah yang dituangkan kedalam bentuk karya fotografi dan dibuat hanya dalam bentuk satu karya, biasanya karya tersebut memiliki nilai dan daya simpan yang cukup lama dan tetap dihargai keberadaannya.
Seperti pada foto karya Philippe Halsman "Dali Atomicus" yang dibuat pada tahun 1948, sampai sekarang foto tersebut masih ada dan menjadi inspirasi bagi fotografer/seniman foto dalam berkarya.
Menurut Soeprapto Soedjono dalam buku Pot-Pourri Fotografi mengatakan bahwa” Fotografi menghadirkan dirinya sebagai suatu domain kajian yang memiliki potensi dikembangkan dan diteliti sebagai objek kreatif estetis maupun nilai-nilai aspek ilmu pengetahuan, baik teknologi, social, politik, ekonomi, psikologi, komunikasi, serta nilai filsafati yang dimilikinya.
Hasil foto seni tentunya berbeda dengan foto-foto lainnya seperti foto jurnalistik maupun foto komersial, karena dalam pembuatan foto seni haruslah memilki nilai keindahan atau estetik. Estetik disini menurut Alexander Gottlieb Baumbarten dalam judul buku ”aesthetica” yang dikutip oleh Soedarso Sp dalam buku ”Soedjai Kartasasmita di Belantara Fotografi Indonesia” bahwa Alexander Gottlieb Baumbarten membedakan adanya tiga kesempurnaan di dunia, yaitu: (1) Kebenaran (das Wahre), ialah kesempurnaan yang bisa ditangkap dengan perantaraan rasio; (2) Kebaikan (das Gute), kesempurnaan yang dapat ditangkap melalui moral atau hati nurani; dan (3) Keindahan (das Schone), yaitu kesempurnaan yang ditangkap dengan indera (perfectio cognitionis sensitivae, qua talis).
Selain itu juga dalam estetika dikenal ada dua pendekatan. Pendekatan pertama; ingin langsung meneliti keindahan itu dalam benda-benda atau alam indah serta seni itu sendiri atau mau lebih. Pendekatan kedua; menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami atau pengalaman keindahan dalam diri orangnya. Pengalaman estetika berkait erat dengan soal perasaan. Adapun sebuah foto seni dikatakan memiliki estetika, ciri-cirinya, foto tersebut tidak hanya mampu mengeploitasi keindahan melainkan mampu pula menyumbangkan nilai-nilai humanisme universal kepada umat manusia.
Philippe Halsman dan Karya-Karyanya
Ada suatu pernyataan dari seorang fotografer bernama Philippe Halsman yang mengatakan “A true portrait should, today and a hundred years from today, be the
Testimony of how this person looked and what kind of human being he was. Philippe Halsman (1972). Yang menyatakan bahwa sebuah foto utuh akan nampak menyampaikan kenyataan tanpa mediasi intrepretasi pembuatnya sekalipun, artinya ada dialog-dialog yang bisa kita lihat dan rasakan antara pemotret dan yang dipotretnya. Atau lebih tepatnya sebuah foto merupakan dunia intrepretasi atas penafsiran-penafsiran ketika ditempatkan menjadi fakta dalam menyampaikan pendapat ide dan gagasan.
Beberapa konsep karya Philippe Halsman sangat nampak berhasil berdialog dengan orang-orang yang dipotretnya, seperti pada saat memotret suatu karakter tokoh-tokoh seperti Albert Einstein atau Salvador Dali, bahkan artis Merlin Monroe pernah dipotretnya. Berikut ini beberapa konsep dan hasil pemotretan yang dibuat Philippe Halsman.
Kesimpulan
Dalam penciptaan foto seni harus melalui beberapa tahapan atau proses yang dilakukan secara berkesinambungan dan terencana dengan baik. sehingga ada perbedaan mendasar antara foto seni dengan jenis foto lainnya. Seperti pada foto jurnalistik bahwa foto jurnalis yang tidak boleh dimanipulasi. Foto-foto jurnalistik harus menyampaikan suatu kebenaran apa adanya, sedangkan dalam foto seni, proses olahan hanya merupakan alat bantu dalam berkarya.
Oleh karena itu, dengan adanya konsep yang jelas tentang batasan foto seni maka diharapkan mampu membangkitkan fotografer menekuni bidang foto seni. Sekarang ini telah banyak sebagian orang untuk mengoleksi foto dan menganggap foto seni sebagai benda seni, seperti halnya seni lainnya. Semoga dengan konsep-konsep baru dalam foto seni kedepan mampu bersaing lebih maju lagi dengan seni-seni lainnya. Hidup Fotografi!
Kepustakaan
Bayer, Jonathan. 1977. Reading Photograph: Understanding the Aeathetics of Photography. New York: Pantheon Books.
Brata, Vincent Bayu Tapa. 2007. Tip Membuat Foto Indah & Menarik. Jakarta: Mediakita.
Darmawan, Budi. 1979. Majalah Foto Indonesia edisi 5. Bandung
Mulyanta, Edi S., 2007. Teknik Modern Fotografi Digital. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Soedarso Sp. 2008. Soedjai Kartasasmita di Belantara Fotografi Indonesia. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta & LPP Yogyakarta.
Soedjono, Soeprapto. 2007. Pot-Pourri Fotografi. Jakarta: Universitas Trisakti.
Soelarko, RM. 1982. Teknik Modern Fotografi. Bandung: PT. Karya Nusantara.
Internet