Rabu, 06 Oktober 2010

Konsep Foto Seni Sebagai Alternatif Karya Fotografi
Abstraksi
Perkembangan fotografi selama ini, telah mendorong lahirnya berbagai bentuk konsep baru dalam bidang fotografi. Lahirnya teknologi fotografi digital telah memberikan berbagai kemudahan dan mendorong para fotografer untuk lebih mengembangkan fotografi secara luas. Sekarang ini konsep foto seni telah banyak digunakan oleh fotografer atau seniman foto melalui pengembangkan ide-ide dan gagasan baru kedalam bentuk karya foto. Foto seni (fine art photography), dapat menjadi penilaian dan representasi bagi fotografer yang menciptakan karya foto tersebut. Oleh karena itu, sudah saatnyalah bagi para fotografer yang selama ini akan atau belum memiliki ciri khas dalam membuat karya foto, untuk menjadikan foto seni sebagai karya seni alternatif dengan paduan konsep-konsep baru dalam berkarya fotografi.
Kata kunci: Konsep, Foto dan Seni
Pendahuluan
Perkembangan foto seni di Indonesia selama ini telah maju dan berkembang dengan pesat. Keberadaan berbagai pendidikan fotografi, baik formal maupun informal telah mampu mendorong sebagian fotografer/seniman foto untuk membuat berbagai karya foto seni. Ditinjau dari segi ekonomi telah ditandai dengan penghargaan nilai sebuah foto pada saat pameran foto dimana satu karyanya dihargai puluhan juta rupiah bahkan sampai ratusan juta rupiah. Selain dari segi ekonomi, dari segi seni rupa, pada perkembangan foto seni sudah dapat disejajarkan dengan seni-seni lainnya seperti halnya seni lukis, seni patung yang terlebih dahulu lahir.
Hal ini ditegaskan oleh Purwanto, seorang dosen seni rupa UNDIP Semarang, mengatakan “fotografi dalam kedudukannya adalah seni yang sejajar dengan senirupa lainnya di Indonesia. Hanya saja sudah semestinya fotografi dengan segala bentuk eksplorasinya tidak boleh keluar dari batasan-batasan fotografi itu sendiri”. Sebagian orang tidak percaya mengenai hal ini dan menganggap bahwa sebuah kamera, apa mungkin menghasilkan suatu foto seni (fine art photography)? padahal foto seni tersebut berawal dari sebuah negatif dan menghasilkan hasil akhir bentuk dua dimensi. Tentu jawabannya mungkin, asalkan kita mampu mengolah ide kreatif kita dengan memperhatikan lingkungan benda sekitar.
Pada dasarnya sebauh foto mudah dibuat dan diperbanyak asalkan negatif fotonya masih ada, namun dalam foto seni (fine art photography), prosesnya tidak bisa disamakan dengan karya foto lainnya dan harus melalui tahapan dan proses. Banyaknya ragam karya seni selama ini telah membawa perubahan dan inovasi baru dalam dunia seni rupa. Telah banyak ide-ide, gagasan imajinasi dan kreativitas yang telah dihasilkan oleh para seniman-seniman besar, diantaranya melalui karya-karya seni baru yang monumental dan di kenal hingga sekarang. Sehingga melalui hasil karya-karya seni tersebut mampu menjadi inspirasi dan imajinasi bagi seniman-seniman lainnya di dunia untuk menghasilkan karya-karya seni lainnya. Seperti halnya dengan foto seni (fine art photography).
Selain itu juga adanya beberapa pemahaman dikalangan fotografer maupun seniman tentang foto seni yang mengatakan bahwa foto seni merupakan bagian dari cabang seni rupa yang paling muda dibandingkan dengan seni-seni lainnya seperti seni lukis, seni patung dan seni-seni lainnya. Memang benar, tetapi walaupun masih muda usianya, keberadaan foto seni selama ini telah mampu memberikan kontribusi kepada cabang fotografi lainnya, seperti halnya dengan foto jurnalistik atau foto komersial.
Sebuah karya foto seni (fine art photography) yang baik, semestinya lahir dari suatu bentuk proses perenungan yang intens dari senimannya yang didalamnya terdiri dari konsep, visi, dan misi yang akan disampaikan dan bersifat baru. Munculnya berbagai ide, gagasan atau imajinasi dalam membuat foto seni pada dasarnya tidak dilakukan secara mendadak, artinya sebuah foto seni (fine art photography) bukan dihasilkan secara mendadak tetapi harus melalui suatu tahapan atau proses. Dimana tahapan atau proses tersebut mampu membantu fotografernya dalam membuat foto seni.
Diantara proses-proses tersebut adalah proses pengamatan empirik, komparasi, perenungan dan pengalaman. Maka dari proses-proses tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu karya foto yang mampu menarik perhatian. Mengukutip pendapat Andreas Feininger oleh B. Darmawan dalam Majalah Foto Indonesia edisi 5, bahwa sebuah foto dianggap baik apabila didalamnya ada tiga faktor: 1. Menarik (eye-catching); 2. Berisi (it has content) dan; 3. Kekal (it last). Oleh karena itu tiga faktor tersebut harus ada dalam setiap foto seni (fine art photography) yang akan buat oleh fotografer atau senimannya. Sejatinya foto tersebut harus mampu menjadi karya master fotografi dan panutan bagi fotografer-fotografer dan lainnya.
Seorang fotografer bernama Kartono Ryadi pernah berkomentar, bahwa foto yang bagus adalah foto yang mempunyai daya kejut dari yang lain. Sama halnya dengan pendapat Ferry Ardianto, menurut dia foto yang bagus adalah foto yang informatif yang mencakup konteks, content , dan komposisi (tata letak dan pencahayaan).
Selain dari pada itu tidak kalah pentingnya dalam penciptaan foto seni adalah alat pendukung yaitu “kamera”. Kamera merupakan alat dalam penciptaan karya foto. Seperti yang dinyatakan oleh Andreas Feininger (1955) bahwa "kamera hanyalah sebuah alat untuk menghasilkan karya seni. Nilai lebih dari karya seni itu dapat tergantung dari orang yang mengoperasikan kamera tersebut.
Konsep Foto Seni
Dalam mencipta suatu karya foto seni, konsep utama yang harus dipersiapkan adalah idealisme pribadi si fotografer atau senimannya. Artinya bahwa semua konsep berangkat dari fotografer atau senimannya tanpa dipengaruh oleh orang lain. Yang kemudian disesuaikan dengan sarana yang ada, pengaruh lingkungannya, kesulitan yang mungkin terjadi, dan tentu saja harus didukung dengan peralatan yang memadai sebagai faktor teknis penciptaan. Kedua konsep estetika yang direncanakan dengan matang, dan memperhitungkan terlebih dulu unsur-unsur penciptaan sebuah foto, dari teknik pemotretan, pengaturan pencahayaan sampai proses pencetakannya.
Foto seni hadir karena pengaruh dari fotografer yang memandang fotografi bukan hanya sebagai alat dokumentasi semata, tetapi fotografi bisa di kembangkan menjadi sesuatu karya seni yang berharga. Dalam pengembangannya telah banyak para fotografer yang mampu dan berhasil dalam menciptakan suatu karya seni foto. Dalam pengamatan penulis, pemikiran mereka dalam berkarya biasanya berangkat dari angan-angan, cita-cita dan harapan melalui perenungan yang mendalam, sehingga terbesit ide untuk membuat suatu karya foto baru yang ada dalam pikirannya. Yang terkadang karya foto seni yang ditampilkan tidak sesuai dengan realita kehidupan sebenarnya.
Menurut H. Dayat Ratman, seorang pakar fotografi mengatakan bahwa foto seni adalah suatu foto yang mengandung unsur seni dan budaya, yang terkadang hasil akhirnya berbentuk abstrak. Sedangkan menurut Prof. R.M. Soelarko, foto seni adalah suatu foto yang memiliki nilai seni dan bersifat terbatas. Artinya bahwa dalam foto seni, karya yang dihasilkan berbeda dengan foto-foto lainnya seperti foto jurnalistik, dalam foto jurnalistik seorang fotografer mampu menghasilkan foto-foto dalam jumlah banyak dalam wakyu seketika, tetapi dalam foto seni foto yag dihasilkan dibatasi dan tidak mudah dalam proses pembuatannya, karena konsep dan ide gagasan yang disampaikan melalui foto harus ”kuat” dimana dalam foto seni harus memiliki nilai dan memuat unsur-unsur seni rupa, diantaranya garis, bidang, warna, tekstur dll.
Sehingga kalau dijabarkan lebih luas lagi pada dasarnya foto seni adalah suatu foto yang memiliki nilai karakter estetik yang muncul dari pengalaman dan pemikiran-pemikiran mendalam dari fotografernya yang diwujudkan kedalam karya dua dimensi yang bersifat terbatas. Artinya bahwa foto tersebut memiliki karakter tertentu yang lahir dari pengalaman pribadi si fotografernya, baik pengalaman lahiriah dan bathiniah yang dituangkan kedalam bentuk karya fotografi dan dibuat hanya dalam bentuk satu karya, biasanya karya tersebut memiliki nilai dan daya simpan yang cukup lama dan tetap dihargai keberadaannya.
Seperti pada foto karya Philippe Halsman "Dali Atomicus" yang dibuat pada tahun 1948, sampai sekarang foto tersebut masih ada dan menjadi inspirasi bagi fotografer/seniman foto dalam berkarya.
Menurut Soeprapto Soedjono dalam buku Pot-Pourri Fotografi mengatakan bahwa” Fotografi menghadirkan dirinya sebagai suatu domain kajian yang memiliki potensi dikembangkan dan diteliti sebagai objek kreatif estetis maupun nilai-nilai aspek ilmu pengetahuan, baik teknologi, social, politik, ekonomi, psikologi, komunikasi, serta nilai filsafati yang dimilikinya.
Hasil foto seni tentunya berbeda dengan foto-foto lainnya seperti foto jurnalistik maupun foto komersial, karena dalam pembuatan foto seni haruslah memilki nilai keindahan atau estetik. Estetik disini menurut Alexander Gottlieb Baumbarten dalam judul buku ”aesthetica” yang dikutip oleh Soedarso Sp dalam buku ”Soedjai Kartasasmita di Belantara Fotografi Indonesia” bahwa Alexander Gottlieb Baumbarten membedakan adanya tiga kesempurnaan di dunia, yaitu: (1) Kebenaran (das Wahre), ialah kesempurnaan yang bisa ditangkap dengan perantaraan rasio; (2) Kebaikan (das Gute), kesempurnaan yang dapat ditangkap melalui moral atau hati nurani; dan (3) Keindahan (das Schone), yaitu kesempurnaan yang ditangkap dengan indera (perfectio cognitionis sensitivae, qua talis).
Selain itu juga dalam estetika dikenal ada dua pendekatan. Pendekatan pertama; ingin langsung meneliti keindahan itu dalam benda-benda atau alam indah serta seni itu sendiri atau mau lebih. Pendekatan kedua; menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami atau pengalaman keindahan dalam diri orangnya. Pengalaman estetika berkait erat dengan soal perasaan. Adapun sebuah foto seni dikatakan memiliki estetika, ciri-cirinya, foto tersebut tidak hanya mampu mengeploitasi keindahan melainkan mampu pula menyumbangkan nilai-nilai humanisme universal kepada umat manusia.
Philippe Halsman dan Karya-Karyanya
Ada suatu pernyataan dari seorang fotografer bernama Philippe Halsman yang mengatakan “A true portrait should, today and a hundred years from today, be the
Testimony of how this person looked and what kind of human being he was. Philippe Halsman (1972). Yang menyatakan bahwa sebuah foto utuh akan nampak menyampaikan kenyataan tanpa mediasi intrepretasi pembuatnya sekalipun, artinya ada dialog-dialog yang bisa kita lihat dan rasakan antara pemotret dan yang dipotretnya. Atau lebih tepatnya sebuah foto merupakan dunia intrepretasi atas penafsiran-penafsiran ketika ditempatkan menjadi fakta dalam menyampaikan pendapat ide dan gagasan.
Beberapa konsep karya Philippe Halsman sangat nampak berhasil berdialog dengan orang-orang yang dipotretnya, seperti pada saat memotret suatu karakter tokoh-tokoh seperti Albert Einstein atau Salvador Dali, bahkan artis Merlin Monroe pernah dipotretnya. Berikut ini beberapa konsep dan hasil pemotretan yang dibuat Philippe Halsman.
Kesimpulan
Dalam penciptaan foto seni harus melalui beberapa tahapan atau proses yang dilakukan secara berkesinambungan dan terencana dengan baik. sehingga ada perbedaan mendasar antara foto seni dengan jenis foto lainnya. Seperti pada foto jurnalistik bahwa foto jurnalis yang tidak boleh dimanipulasi. Foto-foto jurnalistik harus menyampaikan suatu kebenaran apa adanya, sedangkan dalam foto seni, proses olahan hanya merupakan alat bantu dalam berkarya.
Oleh karena itu, dengan adanya konsep yang jelas tentang batasan foto seni maka diharapkan mampu membangkitkan fotografer menekuni bidang foto seni. Sekarang ini telah banyak sebagian orang untuk mengoleksi foto dan menganggap foto seni sebagai benda seni, seperti halnya seni lainnya. Semoga dengan konsep-konsep baru dalam foto seni kedepan mampu bersaing lebih maju lagi dengan seni-seni lainnya. Hidup Fotografi!
Kepustakaan
Bayer, Jonathan. 1977. Reading Photograph: Understanding the Aeathetics of Photography. New York: Pantheon Books.
Brata, Vincent Bayu Tapa. 2007. Tip Membuat Foto Indah & Menarik. Jakarta: Mediakita.
Darmawan, Budi. 1979. Majalah Foto Indonesia edisi 5. Bandung
Mulyanta, Edi S., 2007. Teknik Modern Fotografi Digital. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Soedarso Sp. 2008. Soedjai Kartasasmita di Belantara Fotografi Indonesia. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta & LPP Yogyakarta.
Soedjono, Soeprapto. 2007. Pot-Pourri Fotografi. Jakarta: Universitas Trisakti.
Soelarko, RM. 1982. Teknik Modern Fotografi. Bandung: PT. Karya Nusantara.
Internet

3 komentar: